Ada hal yang menggelitik perhatian saya ketika mencermati pemberitaan akhir-akhir ini terkait dengan penataan kawasan Tanah Abang oleh Pemerintah DKI Jakarta. Sebagaimana yang diberitakan, Pemerintah DKI Jakarta telah membuat kebijakan untuk menutup sebuah ruas jalan yang kemudian “dialihfungsikan” sebagai tempat berdagang PKL. Saya tidak ingin membahas dari sudut pandang hukum, apalagi politis, terkait kebijakan ini. Namun saya hanya ingin memberikan suatu perspektif yang lain tentang bagaimana kita bisa melihat jalan dan peran jalan sebagai sebuah ruang publik kota, karena sebagaimana yang dikatakan oleh Spiro Kostof, seorang pakar sejarah arsitektur, bahwa “The only legitimacy of the street is as public space” (Kostof, 1992, p. 194), dan oleh Jane Jacobs (1961, p. 29) bahwa “Streets and their sidewalks, the main public places of a city, are its most vital organs”.
Di dalam Bahasa Inggris, kata ‘”jalan” dapat diekspresikan oleh sejumlah istilah yang masing-masing memiliki konotasi yang berbeda. Mungkin yang paling umum digunakan adalah kata streets dan roads. Ada beberapa kata lain yang juga digunakan untuk menunjukkan makna jalan secara lebih khusus, seperti avenue, boulevard, lane, drive, terrace, alleyway, dll (ada video dengan ilustrasi menarik yang menjelaskan perbedaan penggunaan mengenai kata-kata tersebut di sini). Di dalam kajian perencanaan kota, penggunaan kata streets dan roads akan memberikan nuansa yang berbeda. Kata streets memberikan makna sebuah ruang publik linear yang tidak dapat dipisahkan dari konteks ekonomi, sosial, kultural, dan politisnya (memilki makna sebagai place). Hal ini tampak misalnya dalam penggunaan istilah livable streets, prosperous streets, shared streets, complete streets, dll. Sedangkan roads biasanya bermakna lebih umum dengan penekanan pada fungsinya sebagai jalur penghubung dan transportasi.
Namun demikian, di dalam Bahasa Indonesia, baik streets maupun roads memiliki terjemahan yang sama, yaitu ‘jalan’. Namun tampaknya, kata ‘jalan’ lebih cenderung digunakan untuk menggambarkan makna roads yang lebih menekankan pada fungsinya sebagai jalur pergerakan (terutama kendaraan). Hal ini tampak misalnya di dalam definisi jalan yang tertuang dalam UU No. 38 th 2004, yaitu “Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, ……“. Maka tidak mengherankan ketika misalnya pihak Kepolisian kemudian menggunakan UU ini (sebagaimana tertulis secara online di The Jakarta Post pada hari Jumat tanggal 5 Januari 2018, pada artikel yang berjudul “Police object to Jakarta administration closing road for street vendors“, lihat di sini) sebagai dasar berargumentasi untuk menyatakan pengalihan fungsi jalan sebagai ruang ekonomi adalah hal yang tidak tepat karena dianggap mengganggu fungsi jalan sebagai jalur pergerakan kendaraan. Namun demikian, dari sisi perencanaan kota, cara pandang tentang fungsi jalan seperti ini berisiko mengecilkan peranan jalan sebagai sebuah ruang publik yang vital bagi kehidupan masyarakat kota, yang mengemban fungsi lebih dari sekedar jalur pergerakan, dan berisiko memarjinalkan sebagian kelompok pengguna jalan.
Bila kita melihat sejarah perkembangan kota-kota di dunia, kita akan temui bagaimana jalan telah mengemban beragam fungsi ruang publik yang luar biasa pentingnya. Di samping fungsinya sebagai jalur pergerakan, jalan telah menjadi ruang ekonomi, sosial, kultural, dan politis. Di kota-kota Eropa di zaman peradaban Romawi dan Yunani, dan kota-kota abad pertengahan, jalanan merupakan ruang publik yang hidup, tempat bersosialisasi masyarakat kota yang penuh dengan kegiatan sosial dan ekonomi. Jalanan di kota-kota di zaman perdaban Islam juga digunakan sebagai ruang ekonomi dalam bentuk bazaar (shouq), tempat bersosialisasi masyarakat, serta tempat untuk kegiatan keagamaan. Jalanan di Kota Tamil Nadu, India, memiliki pola yang terkait dengan prosesi ritual yang dijalankan di sana. Secara politis, jalan juga sering menjadi wadah aktivitas politik, dan dapat digunakan sebagai sarana untuk menjalankan kekuasaan (to exercise power), sebagaimana yang dilakukan oleh Haussmann melalui sejumlah boulevard yang dibangunnya ketika merekonstruksi Kota Paris, demi melanggengkan dominasi kaum bourjuis terhadap ruang publik (Harvey, 2006; 2012).
Fungsi jalan sebagai ruang publik yang mewadahi berbagai macam kegiatan mulai tergerus ketika moda transportasi baru bernama mobil diperkenalkan. Sekitar tahun 1930an, jalanan kota-kota di Eropa dan Amerika yang tadinya digunakan sebagai wadah interaksi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat, mulai didominasi oleh pergerakan kendaraan bermotor. Hal ini kemudian diperparah dengan kemunculan gerakan perencanaan kota modern, yang didukung salah satunya oleh pemikiran Le Corbusier, seorang arsitek berkebangsaan Perancis, yang menginginkan agar jalan menjadi ‘traffic machine’, dan seharusnya didesain untuk mewadahi lalu lintas cepat kendaraan bermotor. Ia mengatakan “Our streets no longer work. Streets are an obsolete notion. There ought not to be such a thing as streets; we have to create something that will replace them“ (dalam Kostof, 1992, p. 235) , dan ia menginginkan untuk memisahkan pedestrian dari jalanan perkotaan, dengan mengatakan “No pedestrian will ever again meet a high-speed vehicle” (dalam Moughtin, 2003, p. 129). Ide perencanaan kota ini kemudian berkembang dan menyebar ke berbagai kota di dunia, yang semakin mengokohkan dominasi kendaraan bermotor di jalanan perkotaan. Tidak mengherankan jika kemudian perencanaan jalanan di perkotaan kemudian diarahkan untuk mempermudah dan mempercepat lalu lintas kendaraan bermotor, misalnya melalui pembangunan highways, pelebaran jalan, dll, yang ironisnya justru membuat pedestrian terpinggirkan karena ruang gerak dan ruang aktivitasnya dipersempit.
Dominasi kendaraan bermotor dan pemberian prioritas bagi kendaraan bermotor di dalam perencanaan kota ternyata membawa dampak negatif. Terus tertekannya ruang interaksi masyarakat yang diambil alih oleh kendaraan bermotor menyebabkan kehidupan sosial masyarakat kota semakin terkikis. Berbagai kritik dan protes terkait ide perencanaan pun dilancarkan untuk merespon isu tersebut. Di antara kasus yang cukup terkenal, misalnya adalah perseteruan sengit antara Jane Jacobs dan Robert Moses di Amerika.
Seiring berjalannya waktu, gerakan untuk mengklaim kembali jalan sebagai ruang publik pun terus bermunculan, bahkan hingga saat ini, Banyak kota, terutama di Eropa, saat ini telah menjalankan program dan kebijakan untuk mentransformasi jalan-jalan di pusat kota mereka sebagai ruang publik dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi, yang menunjukkan adanya trend pergeseran ide perencanaan perkotaan untuk mengembalikan fungsi jalan sebagai ruang publik yang inklusif, yang lebih dari sekedar sebagai jalur pergerakan. Berbagai studi pun telah membuktikan dampak positif baik dari sisi sosial maupun ekonomi dari kebijakan-kebijakan tersebut. Berbagai diskusi dan perdebatan untuk mengembalikan jalan sebagai ruang publik pun terus bergulir, dari yang sekedar bertujuan untuk menciptakan ruang publik yang nyaman, aktif, dan atraktif, menuju kepada pencapaian keadilan sosial bagi semua kalangan masyarakat kota (lihat Zavestoski & Agyeman, 2015).
Oleh karena itu, tuntutan untuk mengembalikan fungsi jalan yang dimaksudkan untuk membatasi fungsi jalan hanya sebagai jalur pergerakan tampaknya kurang tepat, karena secara historis, sebelum munculnya kendaraan bermotor jalan telah lebih dulu digunakan untuk mewadahi berbagai macam aktivitas, selain sebagai jalur pergerakan. Selain itu, muncunya trend saat ini untuk mengklaim kembali jalan sebagai ruang publik kota juga menunjukkan bahwa sesungguhnya interpretasi akan fungsi jalan hanya merupakan sebuah konstruksi sosial, yang tentunya dapat diubah seiring dengan perkembangan kebutuhan kota. Tugas dan sekaligus tantangan bagi perencana kota, terutama di negara berkembang, adalah untuk menyeimbangkan berbagai macam kepentingan publik yang ada, untuk mengembalikan fungsi jalan sebagai ruang publik yang inklusif, yang dapat mewadahi beragam aktivitas dan beragam macam pengguna, termasuk mereka yang selama ini terpinggirkan dari ruang kota, (meskipun secara teori tidak akan pernah ada ruang publik yang 100% inklusif).
Referensi:
- Harvey, D. (2006). The Political Economy of Public Space, in Low, S., & Smith, N. (Eds.). (2006). The politics of public space. New York: Routledge.
- Harvey, D. (2012). Rebel cities: from the right to the city to the urban revolution. London: Verso Books.
- Jacobs, J. (1961). The Death and Life of Great American Cities. New York: Vintage Books.
- Kostof, S. (1992). The City Assembled: The Elements of Urban Form through History. London: Thames and Hudson.
- Moughtin, C. (2003). Urban design: street and square. Third Edition. Oxford: Architectural Press.
- Zavestoski, S. & Agyeman, J. (2015). Incomplete Streets: Processes, practices, and possibilities. London: Routledge.